Ticker

6/recent/ticker-posts

Advertisement

Tangkal Hoaks Pemilu 2024 di Daerah, Perspektif Media Siber Lokal

Oleh : Ade Elvandi (Direktur Media Siber Rejangnews.com)

PENDAHULUAN

Kata hoaks sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat, terutama netizen atau warganet. Informasi yang diketahui oleh masyarakat hanya diartikan benar atau tidak benar. Namun, tidak banyak masyarakat mengetahui mana informasi yang benar atau informasi yang palsu. 

Di era digital saat ini, serangan isu atau berita hoaks semakin meraja lela, apalagi dengan kehadiran berbagai Media Sosial yang menjadi salah satu alat utama bagi oknum tak bertanggungjawab dalam melakukan penyebaran hoax.

Isu politik menjadi salah satu trend yang rentan akan penyebaran berita hoaks. Penyelenggara Pemilu, seperti KPU, Bawaslu dan peserta Pemilu seperti para Kandidat Calon dan Parpol sendiri, tentunya akan menjadi sasaran empuk korban berita hoaks.

Apalagi saat ini di Indonesia tahapan Pemilu 2024 sudah berlangsung. Kilas balik di sepanjang pemilu 2019 lalu, baik semasa kampanye, saat pencoblosan dan hasil hitung cepat hingga usai pencoblosan sangat gencar berita hoaks tersebar.

Sehingga disini penulis mencoba melihat sejauh mana penyebaran berita hoaks di daerah dan bagaimana perspektif media siber lokal dalam menangkal berita hoaks politik daerah. 

PEMBAHASAN

Kata hoaks sendiri mulai populer di Inggris pada abad ke-18 saat terbitnya buku A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names dan Allusions to Customs yang ditulis oleh Robert Nares tahun 1822. Ia menulis hoaks berasal dari kata “hocus” dalam “hocus pocus”. Yaitu sebuah mantra atau istilah yang kerap diucapkan penyihir atau pesulap saat itu.

Di Indonesia sendiri, hoaks sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan sebelum ada internet. Namun, istilahnya saja mungkin berbeda, seperti surat kaleng atau kabar burung, yang belum dapat dipastikan kebenarannya.

Sekarang, hoaks sudah memiliki rumah sendiri, seiring dengan berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi. Sehingga, penyebaran berita bohong semakin tak terbendung.

Untuk diketahui, dalam Kamus Besar Bahasa (KKBI) Indonesia, 'hoaks' adalah 'berita bohong.' 

Sedangkan, menurut Septiaji Eko Nugroho, Ketua Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Fitnah, hoaks adalah sebuah informasi yang direkayasa. Hoaks bertujuan memutar balikan fakta. Fakta tersebut akan diganti dengan informasi-informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Septiaji juga mengartikan bahwa hoaks adalah tindakan mengaburkan sebuah informasi yang benar, dengan membanjiri suatu media, melalui pesan-pesan yang salah. Sehingga pesan yang benar akan tertutupi.

Sementara, pendapat Ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, Profesor. Muhammad Alwi Dahlan, yang juga mantan Menteri Penerangan. Menurutnya, hoaks sudah direncanakan sebelumnya dengan menyelewengkan fakta sehingga dapat menarik perhatian, sangat berbeda dengan berita bohong biasa.

Terdata di Kementerian Informasi dan dan Informatika (Kominfo) RI, hoaks terbanyak ditemukan pada bulan April 2019 yang bertepatan dengan momentum pesta demokrasi Pilpres dan Pileg. Khusus bulan April 2019,  hoaks yang ditemukan sebanyak 501 hoaks, disusul bulan Maret berjumlah 453 dan bulan Mei 402 hoaks.

Bahkan dalam 1 periode terhitung sejak Agustus 2018 hingga September 2019, jumlah informasi hoaks tercatat sebanyak 3.356, yang didominasi kategori Politik sebanyak 916 informasi hoaks.

Sementara, terdata di Mafindo, jumlah hoax pada tahun 2018 mencapai 997 hoaks dan hampir 50 persen atau sebanyak 488 hoaks adalah informasi politik. Dari 488 hoaks tersebut, Mafindo mencatat terdapat 259 hoax dengan tema politik sejak Juli sampai dengan Desember 2018. Sedangkan jumlah hoaks pada bulan Januari 2019, sebesar 109 buah dengan 58 hoaks diantaranya bertema politik.

Mafindo juga mencatat platform sosial media yang digunakan sebagai penyebar hoaks sejak Juli 2018 sampai dengan Januari 2019. Facebook masih menjadi sarana penyebaran hoaks yang paling dominan diikuti oleh WhatsApp dan Twitter.

Demikian disebabkan oleh rendahnya tingkat literasi media sosial. Apalagi media sosial dijadikan sebagai wadah untuk memberikan pengaruh negatif pada masyarakat pengguna internet, seperti berita hoaks, pelanggaran privasi, perundungan di dunia maya, penyebaran konten kekerasan serta pornografi.

Mafindo juga telah membuat sistem klasifikasi dalam menilai hoaks, salah satunya menggunakan klasifikasi akademis. Yaitu mengadopsi 7 klasifikasi hoax dari FirstDraft: 1.Satir/Parodi: tidak ada niat jahat, namun bisa mengecoh. 2.False Connection: judul berbeda dengan isi berita, dst. 3.False Context: konten disajikan dengan narasi konteks yang salah. 4.Misleading Content: konten dipelintir untuk menjelekkan. 5.Imposter Content: tokoh publik dicatut namanya. 6.Manipulated Content : konten yang sudah ada, diubah, untuk mengecoh. 7.Fabricated Content: 100% konten palsu.

Sebelumnya, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Bengkulu juga telah melaksanakan kegiatan Dialog Publik dengan tema “Menyiapkan Pemilih Pemula yang Berdaya dan Berkarya di Dunia Digital” pada Kamis, 1 November 2022 lalu.

Seperti dilansir dari Bengkuluinteraktif.com, bahwa Koordinator Wilayah Mafindo Bengkulu, Dr. Gushevinalti, dalam kegiatan tersebut menyebutkan, lewat kegiatan ini Mafindo Bengkulu berharap masyarakat dapat menguatkan kemampuan literasi digital yang baik dalam mengakses informasi di media digital.

Demikian menunjukkan Mafindo dan beberapa instansi terkait telah berpartisipasi aktif dan harus diapresiasi atas upaya mereka dalam memerangi isu hoaks.

Selain itu, dilansir dari bengkuluekspress.disway.id dengan judul "Hadapi Pemilu 2024, Mafindo Bengkulu Edukasi Ratusan Pemilih Pemula", Minggu (5/3/2023). Sebanyak ratusan peserta para pemilih pemula di Kota Bengkulu mengikuti sekolah kebangsaan yang digelar oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Bengkulu didukung oleh Google.org.

Para peserta dibekali materi periksa fakta agar menjadi pemilih cerdas yang dapat secara mandiri memeriksa setiap informasi yang datang. Adapun tools periksa fakta yang dikenalkan Mafindo kepada peserta yaitu Chatboot kalimasada (0859-21-699-500), Aplikasi Hoax Buster Tools, Situs http://cekfakta.com, disitu http://turnbackhoax.id dan Google Recese Image.

Untuk itu, literasi media sosial bukan hanya sekedar untuk melek media. Namun, keterampilan analisa dalam menilai informasi yang disebarkan juga harus diutamakan.

Jika tidak cerdas dalam memilih, memilah dan menilai informasi yang diterima tentu dapat berdampak buruk bagi penerima informasi hoaks. Hoaks dinilai dapat menciderai demokrasi jika menyangkut persoalan politik.

Sementara untuk di daerah sendiri, tentunya tidak jauh berbeda dalam menyebarkan informasi hoaks menggunakan platform media sosial. Bahkan Mafindo sendiri sudah terjun ke beberapa daerah, sebagai upaya preventif untuk mengajarkan masyarakat agar kebal terhadap hoaks, apalagi sudah tampak menjalin mitra dengan berbagai media massa lokal, tak terlepas media siber.

Syukurnya, hingga saat ini tidak terpantau oleh penulis terdapat isu hoaks politik daerah, baik terkait penyelenggara maupun peserta  bahkan di Pemilu 2019 lalu, bukan berarti tidak ada, tapi sepertinya kurang menarik perhatian publik.

Selain itu, media siber di daerah juga berperan aktif dalam mempublikasikan berita para penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu yang notabene adalah berita yang benar-benar memberikan informasi rangkaian kegiatan pemilu. Sehingga, isu yang belum dipastikan kebenarannya kurang terekspos.

Sementara, informasi - informasi yang benyak diperdebatkan di Media Sosial atau yang hanya terdengar secara sepihak tidak terlalu menarik perhatian para awak media untuk dipublikasikan dalam sebuah berita. Sehingga, berita  ataupun isu hoaks tidak pernah menjadi pembahasan utama para penggiat media sosial di daerah.

Di sini penulis berpendapat, bahwa kehadiran media siber lokal yang menjadi media partner para penyelenggara pemilu dan pemerintah berperan aktif dalam menangkal penyebaran berita hoaks.

Menghadapi pemilu 2024 bukan berarti kita harus lengah terhadap penyebaran isu hoaks, apalagi peserta Pemilu di 2024 mayoritas adalah pemilih pemula yang tentunya aktif dalam media sosial.

Untuk itu, para penyelenggara Pemilu, seperti Bawaslu, KPU dan berbagai instansi terkait, harus peka terhadap media siber lokal dan merangkul para penggiat media massa untuk berpartner dalam mensukseskan pemilu 2024.

Diharapkan dalam mengaplikasikan itu semua perlu adanya anggaran yang efektif dan efisien, agar para penggiat media siber juga dapat aktif menyebarkan informasi berkenaan dengan Pemilu 2024 di media sosial melalui promosi fanspage Facebook yang berbayar.

KESIMPULAN

Penyelenggara Pemilu baik Bawaslu, KPU maupun peserta pemilu baik Parpol dan calon harus dapat mengantisipasi tersebarnya isu hoaks dengan menggandeng media siber lokal.

Bukan berarti media siber lokal sendiri mampu untuk menangkal penyebaran informasi hoaks, jika tanpa dukungan seluruh pihak, minimal kita dapat meminimalisir tersebarnya informasi hoaks dengan mempublikasikan berbagai program, kegiatan para penyelenggara dan peserta pemilu.

Sehingga, perlu kerja sama seluruh pihak hingga masyarakat dalam menangkal berita hoaks yang tersebar di media sosial ataupun melalui jaringan internet lainnya perlu diberikan pemahaman secara berkelanjutan.

Selain itu, Mafindo juga telah menyiapkan berbagai tools untuk melakukan pengecekan informasi, apakah informasi tersebut fakta ataukah hoaks, yang diharapkan masyarakat terutama warganet dapat memanfaatkannya.

Posting Komentar

0 Komentar